Kamis, 25 Oktober 2007

Menjaga Mulut

Mulut merupakan satu anggota butuh yang terletak di bagian wajah. Posisinya yang strategis itu membuatnya cukup menjadi perhatian.
Tidak jarang kita temui orang yang gemar "menghias" mulutnya dengan berbagai macam cara, baik yang nampak maupun yang tak nampak. Semua itu dilakukannya tidak lain bertujuan agar dia lebih percaya diri untuk tampil di hadapan publik.
Tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah keberadaan mulut sebagai penentu baik atau buruk seseorang, sekaligus konsekuensinya, yaitu bahagia atau sengsara.
Terdapat banyak pepatah Arab yang mempernarkan pernyataan ini, seperti "celakanya seseorang itu bukan karena terpelesetnya kaki melaikan karena terpelesetnya mulut," "selamatnya seseorang itu karena penjagaan terhadap lisannya," dan lain-lain.
Hal ini karena mulut merupakan media yang sangat efektif bagi orang untuk mengungkapkan kata hatinya. Memang bukan satu-satunya, misalnya melalui bahasa tubuh, bahasa isyarat, dan sebagainya, tetapi melalui mulut jelas jauh lebih sempurna.
Melihat pada peran penting mulut ini, hingga ada yang menyatakan bahwa segala perkataan yang keluar darinya merupakan representasi dari kepribadian seseorang.
Hal ini memang cukup pelik, mengingat belum dapat dipastikan, misalnya orang yang tutur katanya terdengar baik dan lembut belum pasti ia memiliki karakter seperti itu, karena bisa jadi hal itu dilakukan karena ada maksud-maksud terselubung.
Untuk itu, mulut sangat erat dengan hati. Dan di sini orang tidak bisa main-main lagi karena siapa pun tidak akan bisa membohongi diri sendiri. Hati yang tulus akan melahirkan perkataan yang menenteramkan bagi orang yang mendengarnya.
Terdapat satu kisah tentang seorang yang mampu menjaga mulutnya untuk tetap berada pada jalur kebaikan dan kebenaran, yang kemudian namanya diabadikan oleh Tuhan dalam al-Qur’an sebagai salah satu teladan bagi umat manusia, yaitu Lukman Hakim.
Dia adalah seorang budak hitam (wahsyi), yang memiliki bibir tebal dan dua kaki yang melekuk. Dapat dibayangkan secara fisik jelas bukan tergolong orang yang tampan.
Tetapi dari bibirnya yang nampak kurang sedap dipandang mata itu, justru mencerminkan kelebihannya di banding orang lain, yaitu dia selalu tidak mengeluarkan suatu pun dari mulutnya selain hal-hal yang mulia, penuh makna dan hikmah, serta berguna.
Pada suatu hari dia diperintahkan oleh tuannya untuk menyembelih beberapa ekor kambing karena ada suatu tujuan tertentu. Setelah kambing-kambing itu disembelih, dia disuruh untuk mengambilkan dua bagian yang terbaik dari daging kambing itu.
Beberapa saat kemudian dia menghadap kepada tuannya dengan membawa potongan hati dan lidah.
Setelah tuannya memastikan kedua potong daging itu telah berada di tanggannya, dia kembali menyuruh Lukman untuk mengambilkan dua potong daging lagi, tetapi kali ini harus diambil adalah daging dari bagian yang terburuk.
Tak lama kemudia, dia kembali menghadap tuannya dengan membawa potongan hati dan lidah.
Sudah tentu ulah Lukman ini terasa ganjil di mata tuannya, yaitu daging yang terbaik dan terburuk sama bentuknya. Ia pun akhirnya meminta kepada Lukman untuk menjelaskan keganjilan perbuatannya itu.
Lukman kemudian menguraikan bahwa "bila kedua bagian ini sudah baik, tidak ada lagi yang lebih baik dari keduanya. Sebaliknya, bila kedua bagian ini sudah buruk, tidak ada lagi yang lebih buruk dibandingkan dengan keduanya."
Kisah ini telah memberikan satu gambaran yang sangat jelas dua bagian fisik manusia yang memiliki peran penting dalam mencitrakan baik atau buruk, yatu hati dan mulut.
Keduanya memang tidak dapat dipisahkan, karena masing-masing bergantung pada yang lain. Untuk itu, keduanya harus dijaga secara bersamaan. Sebab jika yang satu menyimpang maka yang lain akan mengikutinya.
Seringkali Nabi mengingatkan untuk serius dalam menjaga mulut. Pada satu kesempatan ia menyatakannya berkaitan dengan sikap yang semestinya bagi seorang mukmin.
Menurutnya, seorang yang telah menyatakan diri beriman kepada Allah dan hari kiamat hendaknya ia hanya berbicara yang baik-baik, dan kalau ia tidak sanggup untuk itu, sebaiknya diam saja.
Pada kesempatan yang lain Nabi juga menegaskan akibat bagi orang yang tidak mampu menjaga mulutnya, yaitu menjadi penghuni neraka.
Penegasan Nabi ini membuktikan adanya kaitan yang erat antara perkataan dan keimanan. Perkataan yang baik jelas mencerminkan iman yang tebal. Begitu juga sebaliknya, dengan iman yang kuat seseorang tidak akan membiarkan mulutnya untuk berkata-kata kotor.
Dan karena iman itu akan menyelamatkan seseorang, maka mulut juga akan dapat menyelamatkannya. Begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, menjaga mulur berarti juga menjaga keimanan.
Dan karena iman itu merupakan suatu keyakinan dalam hati maka hati juga harus diperhatikan. Nabi mengingatkan bahwa dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging yang bila ia baik maka seluruh kediriannya akan baik, dan bila ia rusak maka maka seluruh kediriannya akan rusak, yatu hati.
Sebagai tempat iman, hati memang harus dijaga secara ekstra. Sebab jika ia busuk dan kotor, jelas iman semakin menghindarinya. Dan ketika iman sudah semakin jauh, mulut akan semakin tak terkendali. Dan pada saat itulah kehancuran orang mulai menghampirinya.
* As’ad Alf (Peneliti LPAM Surabaya )

Aib Sendiri

Ada pepatah yang sangat populer, "kuman di seberang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata tak tampak." Pepatah ini merupakan ungkapan dari realita mudahnya orang menilai keburukan dan aib orang lain, sementara ia buta atau cenderung menutupi terhadap keburukan dan aib sendiri.
Salah satu kecenderungan banyak orang memang demikian. Di era modern kecenderungan ini bahkan telah menjadi satu komoditi kapital. Keburukan atau aib orang lain dieksploitasi sedemikian rupa untuk dijual dengan beragam kemasan.
Dan yang lebih parah lagi bahkan ada sebagian orang yang secara sengaja melakukan kontrak untuk mengekspos keburukan ini demi mencari atau menaikkan popularitas.
Terkait dengan hal ini Islam memiliki konsep amanah. Kata ini tidak hanya menunjukkan arti melaksanakan kepercayaan yang diberikan orang lain yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan atau pekerjaan, tetapi ia juga mencakup seluruh aspek mu'amalah, termasuk amanah terhadap rahasia orang lain.
Amanah seperti ini yang dimaksudkan dalam ilmu kalam sebagai salah satu sifat yang dimiliki para nabi yang jelas harus dijadikan tauladan bagi setiap muslim.
Kegemaran orang untuk menguak keburukan atau aib orang lain tidak lain bersumber dari nafsu dan jelas bertentangan dengan nurani, sebab kecenderungan baik nurani tidak mungkin menyiratkan kehendak buruk pada orang lain, sebagaimana hal serupa juga dibenci untuk diriya sendiri.
Untuk itu, muslim sejati adalah yang selalu berupaya menguak keburukan atau aib sendiri untuk kemudian disembuhkan, dan bila mendengar aib orang lain maka ia selalu bersikap amanah dengan hanya menjadikannya sebagai rahasia antara dia dan orang tersebut.
Dalam hal ini Nabi menyatakan, "Siapa yang menutupi rahasia saudaranya seagama Allah akan menutupi rahasianya kelak di hari kiamat."
Untuk dapat menguak aib sendiri ini tidak semudah yang dibayangkan, sebab hal ini membutuhkan kejernihan nurani dan menekan kemauan nafsu. Dan agar hal ini lebih mudah Al-Ghazali memiliki empat kiat sebagai berikut:
Pertama, hendaknya seseorang mendatangi atau berkonsultasi kepada seorang alim yang memiliki penglihatan batin (bashirah).
Penglihatan batin ini bukan seperti keahlian "terawang" seperti yang dimiliki oleh para supranatural karena ia merupakan satu ilmu yang diperoleh melalui ritual tertentu,
tetapi yang dimaksud di sini adalah suatu penglihatan batin yang diperoleh melalui laku sufistik hingga mendapat keistimewaan (karamah) dari Allah berupa terbukanya (inkisyaf) berbagai tabir (hijab) keghaiban.
Kedua, mencari teman sejati yang taat beragama dan yang bersedia mengingatkanya jika terdapat perilakunya yang kurang atau tidak baik.
cara ini yang banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam di masa lalu, seperti dilakukan oleh Umar bin Khattab yang bertanya kepada Khudzaifah Ibnul Yaman tentang keburukanya.
Khudzaifah adalah seorang sahabat Nabi yang sangat terkenal dengan keahliannya di bidang keburukan, mulai dari sumber, bentuk, sampai pada dampak yang ditimbulkan. Bahkan dialah yang banyak mengetahui informasi rahasia dari Nabi tentang sifat dan perilaku kaum munafikin.
Dikisahkan, di saat Nabi selesai menguraikan kepada para sahabatnya tentang sifat dan perilaku kaum munafikin itu Umar merasa resah kalau-kalau sifat dan perilaku itu berada dalam dirinya.
Ia pun segera melakukan evaluasi terhadap dirinya sendiri, tetapi ia tidak puas dengan cara ini sebab ia takut kalau dalam evalusianya terdapat dorongan nafsu, hingga ia mendatangi Khudzaifah untuk berkonsultasi.
Ketiga, berusaha mengorek iformasi tentang keburukan dari musuh atau orang yang tidak suka kepadanya. Musuh atau orang yang benci jelas akan selalu mencari-cari keburukan lawannya.
"Penglihatan suka akan cenderung mentolelir aib, dan penglihatan benci akan membeber segala kejelekan," begitulah kata pepatah Arab. Dalam hal ini memanfaatkan musuh sangat efektif dibanding teman yang setia, sebab teman cenderung memuji dan menyembunyikan keburukannya.
Tetapi sayang, sering orang justru cenderung menganggap segala yang muncul dari teman setianya dianggap sebagai kebenaran, sedang yang dari musuhnya dianggap sebagai suatu kebohongan dan keburukan hingga tidak ada yang perlu diperhatikan bahkan diambil manfaatnya.
Dan keempat, bergaul masyarakat dengan tidak membedakan stratifikasi sosial yang ada. Sikap ini akan memberi ruang belajar yang lebih luas, mengingat setiap strata sosial pasti memiliki keistimewaan dan keunikannya sendiri-sendiri.
Terhadap mereka diharuskan untuk selalu berusaha mencari i'tibar tentang penegakan sistem moral.
Setiap masyarakat pasti memiliki konvensi tersendiri. Dan sudah pasti semuanya akan sepakat untuk meletakkan moralitas pada level utama untuk membina keharmonisan dan kesejahteraan.
Untuk itu, segala hal yang disuka oleh mayoritas masyarakat harus berusaha untuk dilakukan. Sebaliknya segala yang dibenci dijauhinya. Inilah arti ungkapan bahwa "seorang mukmin itu merupakan cermin bagi mukmin yang lain."
* As'ad Alf (Peneliti LPAM Surabaya )

Menghilangkan Riya, Ujub, dan Sum'ah

memang riya', 'ujub, sum'ah, dan semacamnya adalah penyakit-penyakit yang membahayakan. Bahaya karena sebenarnya penyakit itu akan menghancurkan kemerdekaan kita.
Kita tidak merdeka karena dalam tindakan-tindakan itu, hati kita terbelenggu oleh (pujian, applaus, dan sikap-sikap) orang lain. Kalau tidak mendapat pujian atau sedikitnya perhatian, kita tak mau (mungkin kurang semangat) melakukannya.
Puncak kemerdekaan kita adalah keikhlasan (dalam setiap amal perbuatan kita) kepada Allah Swt. Silahkan..., orang mau tahu atau tidak, mau memuji atau tidak, yang penting saya adalah saya, kokoh dengan tindakan dan pendirian saya. Beginilah kemerdekaan.
Riya' itu satu tangga di bawah balas dendam. Karena riya' sumber kesalahannya melulu berasal dari diri kita sendiri. Tanpa ada orang lain mendahului. Sedangkan balas dendam didahului oleh tindakan orang lain.
Kita membenci orang lain karena dia memulai membenci kita. Kita menyakiti orang lain karena dia telah menyakiti kita lebih dulu, dst.
Nah, jika balas dendam saja tidak dianjurkan, apalagi riya'. Riya' itu ibaratnya menjual (kemerdekaan) diri kita ditukar dengan (belenggu) pujian, penghormatan, atau sikap-sikap simpati lainnya dari orang lain. Betapa kerdilnya diri kita, jika demikian!!!
Kaitannya dengan hal ini, ada hadis yang sangat menarik: "Ta'isa 'abdu al-d?®n?¢r, wa al-dirham, wa al-qath?®fah. In u'thiya radliya, wa in lam yu'tha lam yardla" (Celakalah para materialis, [penghamba dinar, dirham, dan sutera]. Senang jika diberi, dan tak senang jika tak diberi). [Riwayat Imam Bukhari, Bul?»ghul Mar?¢m].
Pelajaran apa yang bisa diambil dari hadis tersebut? Sungguh, ia merupakan pelajaran akhlak yang amat agung. Penyebutan jenis-jenis materi di atas hanyalah sebatas contoh.
Jadi, walaupun hadis itu hanya menyebut "dinar", "dirham", dan "sutera", tentu materi apapun jenisnya bisa disamakan. Bahkan tak terbatas pada materi saja, hal-hal yang berupa emosi (senang, benci, cinta, dan semacamnya).
Sehingga bisa disamakan ke dalam pengertian hadis tersebut ungkapan seperti "tak senang karena tak diberi, senang karena diberi", "membenci karena dibenci", "mencintai karena dicintai", "memukul karena dipukul", "tak menghormati karena tidak dihormati", dan seterusnya.
Makanya puncak kemerdekaan kita adalah tindakan ikhlas karena Allah, tiada yang melebihi. Dalam segala tindakan kita harus bertekad "Saya tak perduli, orang mau benci atau tidak, mau suka atau tidak, mau tahu atau tidak, mau puji atau tidak, yang penting saya tetap pada tugas saya: mencintai, menghargai, memberi, menghormati, dll".
Melepaskan segala macam ikatan duniawi untuk lepas landas menuju satu-satunya tujuan, Allah SWT, Sang Pencipta, Maha Pengasih, Maha Adil, Maha Bijak, Maha Pembalas, dst. Dalam taraf inilah seseorang, dalam ajaran sufi, mencapai makam tertinggi.
Berikut ini ada beberapa tip yang bisa membantu untuk sedikit-demi sedikit menghapus riya', 'ujub, sum'ah dan semacamnya:
1.Anda harus sadar dan tahu bahwa yang anda perbuat itu benar dan baik. Untuk itu, biasakan berfikir dan berupaya keras memutuskan dengan tepat setiap langkah Anda: apa (yang Anda lakukan), bagaimana (Anda melakukan), dan kenapa (Anda lakukan).
Jangan berfikir sempit dan pendek, tapi usahakan selalu menggali dampak-dampak dan akibat-akibat perbuatan Anda jauh ke depan: manfaat dan madlarratnya. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak bersikap tegas dan berani.
Jika sudah mampu demikian, maka anda akan penuh percaya diri dan mantap dalam setiap langkah. Jangan takut untuk berbeda, selama Anda yakin apa yang Anda perbuat itu benar.Namun, jangan lantas merasa benar sendiri, sehingga membenci orang lain yang Anda anggap salah.
Dengan kata lain, ikhlas identik dengan kemantapan, percaya diri, ketenangan dan kekokohan jiwa, juga kecerdasan, sedangkan riya' (sum'ah, 'ujub) identik dengan keragu-raguan, keresahan, jiwa yang labil, dan juga kebodohan.
2.Upayakanlah dalam setiap waktu untuk mengingat Allah; sesering mungkin 'berbisik-bisik' dengan Allah (mengeluh dan mengadu hanya kepada Allah).
Luangkan waktu, di pagi dan sore tiap hari, sekitar seperempat sampai setengah jam untuk dzikir dan instropeksi diri: apa yang telah dan mau dilakukan.
3.Sadarlah bahwa Allah senantiasa mengetahui gerak-gerik Anda. Bersamaan dengan itu, cukupkanlah kepuasan Anda dengan pengetahuan Allah akan segala tindakan Anda.
Anda akan puas hanya dengan diketahui Allah jika Anda merasa takut dan berharap hanya kpadaNYA.
4.Ketahuilah hanya Allah yang akan mengganjar semua amal perbuatan kita semua.
5.Lakukan doa-doa dengan khusyuk. Senantiasa memohon agar dikaruniai hati yang tulus dan ikhlas (Allahummarzuqnaa al-ikhlaas wa al-istiqaamah wa hubba Allah wa hubba man ahabbah = Ya Allah, karuniailah kami keikhlasan, istiqaamah, mencintai Allah, dan orang-orang yang mencintaiNYA)
6.Kita senantiasa melihat orang lain lebih baik di sisi Allah dari diri kita sendiri. Sebagai contoh: jika kita melihat orang yang lebih muda daripada kita maka hendaklah kita berkata: “Anak ini masih muda usia, belum banyak berbuat maksiat kepada Allah sedangkan aku sudah tua tentu telah banyak berbuat maksiat.
Maka tidak syak lagi bahwa ia lebih baik daripada aku di sisi Allah". Apabila kita melihat orang yang lebih tua daripada kita maka hendaklah kita berkata: “Orang tua ini sudah beribadah kepaa Allah lebih dahulu daripada aku maka tidak syak lagi bahwa ia lebih baik daripada aku�.
Apabila kita melihat orang alim, maka hendaklah kita berkata: “Orang alim ini telah dikurniakan kepadanya bermacam-macam pemberian yang tidak dikurniakan kepadaku dan ia telah sampai ke martabat yang aku tidak sampai kepadanya,
dan ia mengetahui berbagai masalah yang tidak aku ketahui, maka bagaimana aku bisa sepertinya?�. Apabila kita melihat orang yang bodoh, maka hendaklah kita berkata:“Orang ini bodoh lantas ia berbuat maksiat kepada Allah dengan kejahilannya,
tetapi aku melakukan maksiat dengan ilmuku, maka bagaimana aku dapat menjawab di hadapan Allah nanti?� Apabila kita melihat orang kafir, maka hendaklah kita berkata: “Aku tidak tahu, kemungkinan orang kafir ini akan beriman,
memeluk agama Islam dan akhirnya mempunyai husnul khatimah, sedangkan aku tidak tahu apakah akan bisa menjaga keimanan ini hingga akhri hayat dan mendapatkan husnul khatimah?.�
Adapun biar mudah mencapai khusyuk dalam salat, usahakanlah untuk mengetahui semua makna bacaan-bacaan dalam salat, sejak Al-Fatihah sampai salam. Iringi setiap ucapan lisan dengan kesadaran hati sedalam-dalamnya: kalau pas nadanya do'a yang upayakan dengan sadar hati Anda memohon, dst. Sehingga bacaan-bacaan itu tidak sekedar hafalan di mulut.
Arif Hidayat
Dewan Asaatidz Pesantren Virtual

Melihat Calon Isteri Sebelum Khitbah

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir bin Abdullah r.a. beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:"Ketika salah satu dari kalian melakukan khitbah terhadap seorang perempuan, kemudian memungkinkan baginya untuk melihat apa yang menjadi alasan baginya untuk menikahinya, maka lakukanlah". Hadist ini sahih dan mempunyai riwayat lain yang menguatkannya.
Ulama empat madzhab dan mayoritas ulama menyatakan bahwa Seorang lelaki yang berkhitbah kepada seorang perempuan disunnahkan untuk melihatnya atau menemuinya sebelum melakukan khitbah secara resmi. Rasulullah telah mengizinkan itu dan menyarankannya dan tidak disyaratkan untuk meminta izin kepada perempuan yang bersangkutan.
Landasan untuk itu adalah hadist sahih riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a. berkata: Aku pernah bersama Rasulullah r.a. lalu datanglah seorang lelaki, menceritakan bahwa ia menikahi seorang perempuan dari kaum anshar, lalu Rasulullah menanyakan "Sudahkan anda melihatnya?" lelaki itu menjawab "Belum". "Pergilah dan lihatlah dia" kata Rasulullah "Karena pada mata kaum anshar (terkadang ) ada sesuatunya".
Para Ulama sepakat bahwa melihat perempuan dengan tujuan khitbah tidak harus mendapatkan izin perempuan tersebut, bahkan diperbolehkan tanpa sepengetahuan perempuan yang bersangkutan.
Bahkandiperboleh berulang-ulang untuk meyakinkan diri sebelum melangkah berkhitbah.Ini karena Rasulullah s.a.w.
dalam hadist di atas memberikan izin secara mutlak dan tidak memberikan batasan. selain itu, perempuan juga kebanyakan malu kalau diberitahu bahwa dirinya akan dikhitbah oleh seseorang.
Begitu juga kalau diberitahu terkadang bisa menyebabkan kekecewaan di pihak perempuan, misalnya pihak lelaki telah melihat perempuan yang bersangkutan dan memebritahunya akan niat menikahinya, namun karena satu dan lain hal pihak lelaki membatalkan, padahal pihak perempuan sudah mengharapkan.
Maka para ulama mengatakan, sebaiknya melihat calon isteri dilakukan sebelum khitbah resmi, sehingga kalau ada pembatalan tidak ada yang merasa dirugikan. Lain halnya membatalkan setelah khitbah kadang menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan.Persyaratan diperbolehkan melihat adalah dengan tanpa khalwat (berduaan saja) dan tanpa bersentuhan karena itu tidak diperlukan.
Bagi perempuan juga diperbolehkan melihat lelaki yang mengkhitbahinya sebelum memutuskan menerima atau menolakPara ulama berbeda pendapat mengenai batasan diperbolehkan lelaki melihat perempuan yang ditaksir sebelum khitbah.
Sebagian besar ulama mengatakan boleh melihat wajah dan telapak tangan. Sebagian ulama mengatakan boleh melihat kepala, yaitu rambut, leher dan betis.
Dalil pendapat ini adalah hadist di atas, bahwa Rasulullah telah mengizinkan melihat perempuan sebelum khitbah, artinya ada keringanan di sana. Kalau hanya wajah dan telapak tangan tentu tidak perlu mendapatkan keringanan dari Rasulullah karena aslinya diperbolehkan.
Yang wajar dari melihat perempuan adalah batas aurat keluarga, yaitu kepala, leher dan betis. Dari Umar bin Khattab ketika berkhitbah kepada Umi Kultsum binti Ali bin Abi Thalib melakukan demikian.
Dawud Al-Dhahiri, seorang ulama tekstualis punya pendapat nyentrik, bahwa boleh melihat semua anggota badan perempuan kecuali alat kelaminnya, bahkan tanpa baju sekalipun. Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Aqil dari Imam Ahmad.
Alasannya hadist yang memperbolehkan melihat calon isteri tidak membatasi sampai dimana diperbolehkan melihat. Tentu saja pendapat ini mendapat tentangan para ulama. Imam AUza'I mengatakan boleh melihat anggota badan tempat-tempat daging.
Bagi perempuan yang akan menerima khitbah disunnahkan untuk menghias dirinya agar kelihatan cantik. Imam Ahmad berkata:"Ketika seorang lelaki berkhitbah kepada seorang perempuan, maka hendaklah ia bertanya tentang kecantikannya dulu,
kalau dipuji baru tanyakan tentang agamanya, sehingga kalau ia membatalkan karena alasan agama. Kalau ia menanyakan agamanya dulu, lalu kecantikannya maka ketika ia membatalkan adalah karena kecantikannya dan bukan agamanya. (Ini kurang bijak).

Bila Diri Bersempit Hati

Semoga Allah senantiasa memberikan kepada kita hati yang lapang, jernih, karena ternyata berat sekali menghadapi hidup dengan hati yang sempit. Hati yang lapang dapat diibaratkan sebuah lapangan yang luas membentang, walaupun ada anjing, ular, kaajengking, dan ada aneka binatang buas lainnya, pastilah lapangan akan tetap luas.
Aneka binatang buas yang ada malah semakin nampak kecil dibandingkan luas lapangan. Sebaliknya, hati yang sempit dapat diibaratkan ketika kita berada di sebuah kamar mandi yang sempit, baru berdua dengan tikus saja, pasti jadi masalah.
Belum lagi jika dimasukan anjing, singa atau harimau yang sedang lapar, pastikanlah akan bermasalah lagi. Entah mengapa kita sering terjebak dalam pikiran yang membuat hari-hari kita menjadi hari-hari yang tidak nyaman, dan membuat pikiran kita jadi keruh, penuh rencana-rencana buruk.
Waktu demi waktu yang dilalui seringkali diwarnai kondisi hati yang mendidih, bergolak, penuh ketidaksukaan, terkadang kebencian.
Bahkan lagi dendam kesumat, capek rasanya, jelang tidur, otak berpikir keras menyusun rencana bagaimana memuntahkan kebencian dan kedendaman yang ada dilubuk hatinya agar habis tandas terpuaskan kepada yang dibencinya.
Hari-harinya adalah hari uring-uringan makan tak enak, tidur tak nyenyak dikarenakan seluruh kosentrasi dan energinya difokuskan untuk memuaskan rasa bencinya ini.
Saudaraku, sungguh alangkah menderitanya orang-orang yang disiksa oleh kesempitan hati.
Dia kan mudah sekali tersinggung, dan jika sudah tersinggung seakan-akan tidak termaafkan, kecuali sudah terpuaskan dengan melihat orang yang menyinggungnya menderita, sengsara, atau tidak berdaya.
Seringkali kita mendengar cerita orang-orang yang dililit derita akibat rasa bencinya. Padahal ternyata yang dicontohkan para rasul, dan nabi serta para ulama yang ikhlas, orang-orang yang berjiwa besar, bukanlah mencontohkan dendam, membenci atau busuk hati.
Mereka justru contoh pribadi-pribadi yang kokoh bagai tembok tegar,sama sekali tidak terpancing oleh caci maki, cemooh, benci, dendam, dan perilaku-perilaku rendah lainnya.
Sungguh pribadinya, bagai pohon yang akarnya menghujam ke dalam tanah, begitu kokoh dan kuat, hingga diterpa badai dan diterjang topan sekalipun tetap mantap tidak bergeming. Wallahu a'lam.

Sabtu, 16 Juni 2007

Senin, 04 Juni 2007

Islam Agama Yang Mudah

“Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah ra.)
Islam mempunyai karakter sebagai agama yang penuh kemudahan seperti telah ditegaskan langsung oleh Allah Swt. dalam firmanNya:

وماجعل عليكم في الدين من حرج

“…dan Dia tidak menjadikan kesukaran dalam agama atas diri kalian.”

Sementara dalam sebuah haditsnya, Nabi Saw. pun bersabda:

ن الله لم يبعثني معنتا ولامتعنتا ولكن بعثني معلما ميسرا
“Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah ra.)
Visi Islam sebagai agama yang mudah di atas termanifestasi secara total dalam setiap syari’atnya. Sampai-sampai, Imam Ibn Qayyim menyatakan, “Hakikat ajaran Islam semuanya mengandung rahmah dan hikmah. Kalau ada yang keluar dari makna rahmah menjadi kekerasan, atau keluar dari makna hikmah menjadi kesia-siaan, berarti itu bukan termasuk ajaran Islam. Kalaupun dimasukkan oleh sebagian orang, maka itu adalah kesalahkaprahan.”

Ada beberapa prinsip yang secara kuat mencerminkan betapa Islam merupakan agama yang mudah. Yaitu di antaranya:

Pertama, menjalankan syari’at Islam boleh secara gradual (bertahap). Dalam hal ini, seorang muslim tidak serta-merta diharuskan menjalankan kewajiban agama dan amalan-amalan sunnah secara serentak. Ada tahapan yang mesti dilalui: mulanya kita hanya diperintahkan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban pokok agama. Setelah yang pokok-pokok berhasil dilakukan dengan baik dan rapi, kalau punya kekuatan dan kesempatan, maka dianjurkan untuk menambah dengan amalan-amalan sunnah.
Izin untuk mengamalkan syari’at Islam secara bertahap ini telah dicontohkan oleh RasululLah Saw. sendiri. Suatu hari, seorang Arab Badui yang belum lama masuk Islam datang kepada RasululLah Saw. Ia dengan terus-terang meminta izin untuk sementara menjalankan kewajiban-kewajiban Islam yang pokok saja, tidak lebih dan tidak kurang. Beberapa Sahabat Nabi menunjukkan kekurang-senangannya karena menilai si Badui enggan mengamalkan yang sunnah. Tapi dengan tersenyum, Nabi Saw. mengiyakan permintaan orang Badui tersebut. Bahkan beliau bersabda: “Dia akan masuk surga kalau memang benar apa yang dikatakannya.”

Kedua, adanya anjuran untuk memanfaatkan aspek rukhshah (keringanan dalam praktek beragama). Aspek Rukhshah ini terdapat dalam semua praktek ibadah, khususnya bagi mereka yang lemah kondisi tubuhnya atau berada dalam situasi yang tidak leluasa. Bagi yang tidak kuat shalat berdiri, dianjurkan untuk shalat sambil duduk. Dan bagi yang tidak kuat sambil duduk, dianjurkan untuk shalat rebahan. Begitu pula, bagi yang tidak kuat berpuasa karena berada dalam perjalanan, maka diajurkan untuk berbuka dan mengganti puasanya di hari-hari yang lain.

Dalam sebuah hadits Qudsi Allah Swt. berfirman:

إن الله يحب أن تؤتي رخصه كما يكره أن تؤتي معصيته

“Sesungguhnya Allah suka kalau keringanan-keringananNya dimanfaatkan, sebagaimana Dia benci kalau kemaksiatan terhadap perintah-perintahNya dilakukan.” (HR. Ahdari Ibn ‘Umar ra.)

Dalam sebuah perjalanan jauh, RasululLah Saw. pernah melihat seorang Sahabatnya tampak lesu, lemah, dan terlihat berat. Beliau langsung bertanya apa sebabnya. Para Sahabat yang lain menjawab bahwa orang itu sedang berpuasa. Maka RasululLah Saw. langsung menegaskan: “Bukanlah termasuk kebajikan untuk berpuasa di dalam perjalanan (yang jauh).” (HR. Ibn Hibbân, dari Jâbir bin ‘AbdilLâh ra.)

Ketiga, Islam tidak mendukung praktek beragama yang menyulitkan. Disebutkan dalam sebuah riwayat, ketika sedang menjalankan ibadah haji, RasululLâh Saw. memperhatikan ada Sahabat beliau yang terlihat sangat capek, lemah dan menderita. Maka beliau pun bertanya apa sebabnya. Ternyata, menurut cerita para sahabat yang lain, orang tersebut bernadzar akan naik haji dengan berjalan kaki dari Madinah ke Mekkah. Maka RasululLâh Saw. langsung memberitahukan, “Sesunguhnya Allah tidak membutuhkan tindakan penyiksaan diri sendiri, seperti yang dilakukan oleh orang itu.” (HR. Bukhâri dan Muslim, dari Anas ra.)

Demikianlah, Islam sebagai agama yang rahmatan lil’ ‘alamin secara kuat mencerminkan aspek hikmah dan kemudahan dalam ajaran-ajarannya. Dan kita sebagai kaum muslimin, telah dipilih oleh Allah Swt. untuk menikmati kemudahan-kemudahan tersebut. Diceritakan oleh ‘Aisyah ra. bahwa RasululLâh Saw. sendiri dalam kesehariaannya, ketika harus menentukan antara dua hal, beliau selalu memilih salah satunya yang lebih mudah, selama tidak termasuk dalam dosa. (HR. Bukhâri dan Muslim)
Akan tetapi, kemudahan dalam Islam bukan berarti media untuk meremehkan dan melalaikan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan. Rukhshah tidak untuk dijadikan apologi, keringanan-keringanan dari Allah bagi kita jangan sampai membuat kita justru menjadi jauh dariNya. Karakter Islam sebagai agama yang mudah merupakan manifestasi nyata bahwa ajaran Islam bukanlah sekumpulan larangan yang intimidatif, melainkan ajaran yang mewedarkan kasih-sayang. Sehingga dengan demikian, ketika kita menjalankan ajaran-ajaran Islam, motivasinya bukan karena kita takut kepada Allah Swt., tapi lebih karena kita rindu dan ingin lebih dekat denganNya. Bukan karena kita ngeri akan nerakaNya, namun lebih karena kita ingin bersimpuh di haribaanNya –di dalam surga yang abadi.

Minggu, 27 Mei 2007

Kopdar Di Malang




Kopdar Di Malang

Tanggal 19 - 20 mei 2007 kita ngadain acara silaturahim di malang padahal yang mendaftar ada 16 orang gak taunya cuman 6 ( Search_and_resuch, Q-ta, Generasi_langit, N_ninda, nurul_abyadh, r4tih ) yang datang tapi gak apalah yang penting acara silaturahimnya tetep berjalan, sabtu pagi bersama mbak tyas belanja di pasar besar malang setelah itu di jemput tunjung langsung ke tempat tujuan di perumahan oma campus sengkaling,nyampek disana lagsung deh acara masak bersama ,ikan bakar made in sendiri dan untuk dimakan sendiri :D,sambil makan bersama di lanjut perkenalan,truss saling berbagi cerita tentang pengalaman selama chating di #cafeislam@DAL.net.
hari kedua jalan² pagi di puncak bukit oma campus yang ramai banget muda-mudi olag raga pagi sambil menikmati sun rises di puncak bukit,udara pagi yang sejuk dan panorama alam yang indah bisa jadi penghilang rasa penat setelah bekerja, ramai² makan kue di tepi jalan pokoknya kompak deh. smoga acara² seperti ini bisa mempererat tali persaudaraan yang dulunya hanya dunia ketikan sekarng bisa langsung ketemu di dunia nyata. makasih buat semua temen² yang sudah mau datang di acara kemarin semoga acara² seperti ini bisa terus berlangsung dan mempererat persaudaraan walaupun kita berasal dari kota yang berbeda² & smoga masih ada kesempatan untuk bertemu & berkumpul lagi di lain waktu.

Jumat, 25 Mei 2007

Kopdar Di Malang